Ternyata Karena Alasan Ini Korban KDRT Enggan Lepas dari Pasangan

30 Oktober 2021 18:00

GenPI.co Banten - Menjadi fenomena unik ketika korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sulit lepas dan jeratan pasangan atau masih tetap tinggal bersama pasangan yang melakukan kekerasan.

Umumnya korban KDRT bertahan dalam hubungan atau pernikahan yang penuh kekerasan karena masih memiliki harapan bahwa keadaan mereka akan membaik suatu hari nanti.

Menurut psikolog sekaligus penemu teori sosial siklus kekerasan, Lenore E. Walker, KDRT adalah sebuah pola yang bisa ditebak. Artinya, kasus kekerasan terjadi mengikuti sebuah siklus yang berulang.

BACA JUGA:  Wajib Tahu, Ini Perbedaan Cara Berpikir Perempuan dan Laki-laki

Siklus ini dimulai dengan munculnya masalah dalam hubungan, misalnya karena finansial atau pertengkaran soal anak. Biasanya dalam tahap ini korban berusaha memperbaiki keadaan dengan cara mengalah atau menuruti keinginan pasangannya. Apabila gagal, maka akan masuk ke tahap dua, yakni kekerasan.

Dalam tahap ini, pelaku akan menyiksa atau menindas korban sebagai hukuman atau pelampiasan emosi. Korban mungkin secara tak sadar berpikir bahwa ia memang pantas mendapat ganjaran ini karena ia gagal menyelesaikan masalah.

BACA JUGA:  Teman Anda Punya 5 Ciri Ini? Fix, Dia Termasuk Toxic People

Usai puas melakukan praktik kekerasan, pelaku akhirnya akan merasa bersalah dan meminta maaf. Bahkan korban akan diberikan hadiah, mendapat rayuan kata-kata manis hingga janji tidak akan mengulangi perbuatannya.

Pada tahap empat yakni ketenangan, biasanya korban dan pelaku akan menjalani hari-hari layaknya pasangan pada umumnya. Mereka bisa menikmati makan bersama atau berhubungan seks seperti biasa.

BACA JUGA:  Ketika Hubunganmu Tak Direstui Orang Tua, Lakukan 5 Cara Ini

Namun, saat timbul suatu permasalahan, pasangan ini akan masuk lagi ke tahap pertama. Begitu terus selanjutnya, siklus ini akan berputar tanpa henti.

Hingga di titik ini pun, korban masih tetap kukuh bertahan meskipun berulang kali mengalami siklus tersebut.

Berikut tujuh alasan utama dirangkum dari para pakar:

1. Merasa bersalah

Korban kekerasan merasa bersalah jika meninggalkan pasangannya. Bahkan, ia pantas menerima amukan dan kekejaman pasangannya karena menganggap ditimbulkan perbuatannya sendiri.

2. Aib perceraian

Korban kekerasan teteap bertahan karena merasa perceraian atau perpisahan merupakan sebuah aib. Apalagi jika orang-orang tahu pasangannya kejam yang justru akan malu karena gagal mempertahankan keharmonisan rumah tangganya.

3. Ketergantungan finansial

Tidak sedikit korban KDRT bertahan karena ia bergantung secara finansial pada pelaku. Korban takut jika meninggalkan pelaku, ia dan anak-anaknya akan terlantar.

4. Diancam

Bisa jadi setelah puas melakukan KDRT, pelaku mengancam korban akan membunuh menyakiti, atau mengganggu kehidupan korban dan keluarganya jika nekat meninggalkan pelaku.

5. Punya anak

Demi anak, korban KDRT akan mempertahankan bahtera rumah tangga meskipun kerap menerima kekerasan. Korban dibayangi rasa khawatir jika perceraian akan membuat nasib dan masa depan anak akan bertahan sehingga diputuskan untuk bertahan.

6. Tekanan sosial

korban KDRT sering mendapat tekanan sosial atau spiritual untuk bertahan dalam pernikahannya meski sarat kekerasan. Dalam budaya atau agama tertentu wanita harus patuh terhadap suami.

Korban yang menelan mentah-mentah nilai tersebut akan percaya bahwa sudah sepantasnya ia tetap mematuhi pasangannya.

7. Depresi

Ketidakmampuan bertindak, membela diri, apalagi meninggalkan pasangan akan terjadi ketika korban kekerasan mengalami depresi. Dalam kondisi ini, korban tak punya pilihan lain dan bersikap pasrah. (hellosehat)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Citra Dara Vresti Trisna

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co BANTEN