Secuil Kisah Perlawanan Kolonialisme Belanda di Museum Multatuli

09 Oktober 2021 07:00

GenPI.co Banten - Buku-buku sejarah di sekolahan tak mungkin alpa mencatat sosok Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker di novel Max Havelaar.

Bila ingin mengetahui sepak terjang Douwes Dekker di Indonesia, tidak ada salahnya mengunjungi Museum Multatuli di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten.

Museum ini didirikan sebagai sarana rekreasi dan edukasi tentang cikal bakal gerakan anti kolonialisme di Indonesia.

BACA JUGA:  Masjid Baitul Arsy Pasir Angin, Dibangun Waliyullah Banten

Sebagai pengarang, kontribusi Douwes Dekker dianggap sejarawan sebagai tonggak perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah.

Berangkat dari pengalaman hidupnya sebagai pegawai Kerajaan Belanda, tokoh asal Amsterdam ini memotret kemelaratan masyarakat Lebak akibat sistem cultuurstelsel (tanam paksa) yang digagas Gubernur Van den Bosch.

Penghargaan atas jasa-jasanya membangkitkan semangat pejuang kemerdekaan diabadikan dengan 34 artefak asli dan replika.

Sebuah patung Multatuli yang sedang membaca serta patung Saijah dan Adinda bakal menyambut kedatangan para tamu museum.

Setelah memasuki ruangan, terpampang wajah Multatuli dari kaca dengan sebuah pesan pendek bertuliskan “Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia”.

Di beberapa ruangan lain pengunjung akan diberikan gambaran mengenai kedatangan Belanda ke Hindia serta periodesasi kepemimpinan Gubermen Belanda, termasuk periode tanam paksa.

Meski novel Max Havelaar tak lepas dari kontroversi terkait akurasi historis, tidak sedikit pahlawan nasional yang terinspirasi sepak terjang Douwes Dekker.

Foto mereka yang terinspirasi Douwes Dekker dipajang seolah untuk menegaskan kebesaran pengarang Max Havelaar.

Keseriusan pengelola museum Multatuli dapat dilihat dari hadirnya naskah asli Max Havelaar berbahasa Prancis dan beberapa terjemahan dari bahasa lain.

Ubin rumah Douwes Dekker, beberapa surat untuk gubermen turut dipajang di museum. Sejarah Kabupaten Lebak juga tak luput dipajang di museum yang letaknya tak jauh dari Stasiun Rangkasbitung.

Penutup suguhan sejarah di museum ini adalah puisi WS Rendra yang berjudul “Orang-orang Rangkasbitung” ditulis besar-besar di tembok.

Kemudian, foto beberapa tokoh pribumi asal Rangkasbitung seolah mengantar pengunjung menghela napas lega usai menegok sekilas sejarah masa silam. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Citra Dara Vresti Trisna

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co BANTEN